Kamis, 02 Desember 2010

DIAM - UNTUK - MENDUKUNG - PEMERINTAH, TANYA-KENAPA?


“DIAM” UNTUK MENDUKUNG PEMERINTAH, TANYA KENAPA?

Agus Fadilla Sandi

“…Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…” (Q.S. ar-Ra’d [13]: 11)

Prolog

Ayat di awal tadi mungkin tidak asing lagi dalam khazanah pengetahuan dan obrolan motivasi perubahan. Kutipan singkat dari surat ar-Ra’d ayat 11 ini ternyata memiliki daya magic tersendiri, sehingga dengan kesederhanaanya ia mampu ‘menyihir’ suatu kaum untuk melakukan perubahan. Pertanyaannya kemudian, dengan apa kaum tersebut mampu melakukan perubahan?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka penulis akan menukilkan sekelumit pernyataan dari seorang tokoh berkebangsaan Haddington, Samuel Smiles. Tokoh yang terkenal dengan karyanya “the New Thought author Orison Swett Marden” ini menyatakan, “Segala sesuatu itu hendaknya diawali dengan gagasan atau pikiran. Tanamlah gagasan, petiklah tindakan. Tanamlah tindakan, petiklah kebiasaan. Tanamlah kebiasaan, petiklah watak. Tanamlah watak, petiklah nasib.” Demikianlah pernyataan Samuel Smiles tentang kunci sebuah perubahan yang diawali dengan gagasan dan tindakan. Bukan dengan ‘diam.’

Dari pernyataan Samuel Smiles di atas mungkin kita mulai dapat belajar akan langkah apa yang paling baik dalam menyikapi keadaan bangsa kita saat ini (Indonesia, red). Dalam konteks yang lebih konkrit, jika kaum yang dimaksud dalam surat ar-Ra’d ayat 11 itu ialah bangsa Indonesia, maka apa yang harus kita lakukan guna mewujudkan suatu perubahan yang baik bagi negara ini?

Sekelumit Sejarah

Dahulu bangsa ini dijajah bertahun-tahun lamanya. Kekayaan alam dikuras dan warga pribumi ditindas lagi diperas. Jerit tangis dan gelinangan air mata menjadi saksi atas kenangan pahit yang ditorehkan dalam sejarah bangsa ini. Sampai pada akhirnya Indonesia berada di hari yang paling bersejarah. Di saat rakyat memiliki tekad, di waktu bola salju perjuangan kian menggelinding dengan besarnya, dan di saat itu lah kita mulai merasakan apa yang disebut dengan ‘MERDEKA’, tertanggal 17 Agustus 1945. Dan sekali lagi bukan karena diam kemerdekaan itu telah diraih.

Sebagai proklamator kemerdekaan, Soekarno dipercayai untuk menjadi pemimpin (presiden, red) pertama bangsa ini. Siapa yang tak percaya dengan kepribadian Soekarno? (bandingkan dengan SBY). Kendati demikian, salah dan khilaf tak kunjung henti menghiasi manusia. Hingga Soekarno pun melakukan hal in-constitusional (di luar amanat konstitusi) yang mungkin kita pun tak menyangka mengapa demikian.

Pada perkembangan selanjutnya, Soeharto diangkat menjadi pengganti tokoh kemerdekaan, Soekarno. Dibandingkan dengan Soekarno, tentunya Soeharto lebih lama menjabat sebagai pemimpin negara. Namun sayangnya, masa yang lama itu bukanlah karena bahagia atau sejahtera yang dirasakan rakyatnya, sekali lagi bukan. Melainkan karena rakyat pada saat itu ‘diam’, dan dengan sikap diam itu mereka ‘ditindas’. Mungkin pada awalnya, kita juga berprasangka bahwa Soeharto selaku pemimpin negara tidak mungkin akan melakukan kebijakan yang tak berorientasikan maslahat pada rakyatnya. Tapi kenyataanya, demikianlah adanya. Sehingga belum tentu juga SBY yang dipopulerkan saat ini juga tidak akan melakukan hal serupa yang terjadi di masa silam.

Lembaran baru dibuka. Gema reformasi 1998 diteriakkan di seluruh penjuru negeri. Rezim Soeharto tumbang dan cita-cita reformasi pun kian jelas terpampang. Apa yang menyebabkan kini kita sampai pada saat seperti ini?, rasakan jika kita hanya terdiam pada saat dijajah, bayangkan jika kita hanya terdiam saat dipimpin Soeharto yang otoriter, dan tahukah kita apa yang akan terjadi jika kita hanya selalu terdiam. Jawabannya hanya satu, yakni ‘statis’ (tak ada perubahan). Bukankah Allah telah berjanji tidak akan merubah suatu kaum hingga kaum itu sendiri yang merubahnya?

Renungan tentang Diam

W.J.S. Poerwadarminta dalam kamus umum bahasa Indonesia susunannya menjelaskan, diam sebagai kata kerja memiliki dua arti, pertama tidak berbunyi (berkata atau bersuara), dan yang kedua tidak bergerak; tidak berbuat apa-apa. Dari dua arti tersebut, manakah kiranya yang baik digunakan untuk mendukung pemerintah?. Penulis rasa tidak kedua-duanya, kecuali ia (siapapun) yang masih bayi, ia yang tak memiliki mulut, mata, tangan, kaki, atau bahkan ia yang telah wafat. Masihkah kita mau tetap berdiam diri?

Dalam sebuah hadist Rasulullah SAW bersabda, yang artinya “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia mengatakan yang baik atau diam (H.R. Ashhabut-Tis’ah dan lainnya). Jika ditelaah lebih dalam, lafadz iman dalam rangkaian hadist tersebut berarti kesempurnaan iman, namun bukan masalah iman atau tidaknya seseorang. Melainkan tentang siapa saja yang beriman dengan kesempurnaan imannya. Lebih lanjut hadits tersebut menjelaskan bahwa aktivitas yang dituntut guna membuktikan kesempurnaan iman seseorang itu adalah fal yaqul khayran aw liyashmut, yaitu hendaknya ia berkata yang baik atau diam.

Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahîh Muslim, menjelaskan, bahwa jika seseorang ingin berbicara hendaknya ia berbicara, jika apa yang ingin ia bicarakan adalah baik, mendapatkan pahala, baik yang wajib maupun mandub. Sebaliknya, jika tidak tampak bahwa perkataan itu baik dan mendapatkan pahala, hendaknya ia diam tidak berbicara. Demikian pula Ibn Hajar al-’Ashqalani menjelaskan bahwa hadist tersebut meliputi seluruh perkataan, dan rasul hanya mengizinkan berbicara pada perkataan yang baik. Selain yang demikian, rasul memerintahkan untuk diam.

Dengan demikian, hadist ini mengandung dua poin. Pertama, dorongan (perintah) untuk mengatakan yang baik, yaitu sesuatu yang diridhai Allah. Menurut al-Munawi, hadist ini juga memberi faedah bahwa perkataan yang baik itu lebih dikedepankan daripada diam, karena perintah berkata lebih dulu disebutkan daripada diam itu sendiri.

Kedua, perintah untuk diam, yaitu perintah untuk tidak mengatakan hal yang buruk, yang dibenci dan dimurkai oleh Allah. Kata “aw (atau)” tidak bermakna takhyîr (pilihan) untuk mengatakan atau tidak mengatakan yang baik. Dalam al-Muntaqâ Syarh al-Muwatha’ dinyatakan, “Diam dari mengatakan yang baik dapat juga berbentuk seperti, dzikrullah, amar-ma’ruf nahi-mungkar bil-isyaroh (dengan isyarat), dan lain sebagainya. Jadi, maknanya adalah hendaknya ia berkata yang baik atau diam dari berkata yang buruk dengan tetap melakukan hal yang baik pula.”

Lantas apakah melakukan sebuah perubahan kepada arah yang lebih baik itu buruk?, haruskah kita diam melihat kekacauan di sekeliling kita?, padahal dengan keadaan diam pun kita dituntut untuk beramar-ma’ruf nahi-munkar.

Berkaca pada cerita

Al-kisah, ada seorang jenderal dari Negeri Tiongkok Kuno yang mendapat tugas untuk memimpin pasukan melawan musuh yang jumlahnya sepuluh kali lipat lebih banyak. Mendengar kondisi musuh yang tak seimbang, seluruh prajuritnya pun gentar karena mengira kelak mereka akan kalah. Dalam perjalanan menuju medan perang, sang Jenderal berhenti di sebuah Altar Vihara. Ia melakukan sembahyang dan berdoa meminta petunjuk para dewa. Sedangkan prajuritnya menanti di luar vihara dengan harap-harap cemas. Tak lama kemudian, sang jenderal keluar dari vihara seraya berteriak kepada seluruh pasukannya, ‘Kita telah mendapat petunjuk dari langit’. Lalu ia mengeluarkan koin emas simbol kerajaan dari sakunya. Sambil mengacungkan koin itu ke udara ia berkata, ‘Sekarang, kita lihat apa kata nasib. Mari kita adakan toss. Bila kepala yang muncul maka kita akan menang, tapi bila ekor yang muncul, kita akan kalah. Hidup kita tergantung pada koin ini.

Jenderal lalu melempar koin emas itu ke udara. Koin emas pun berputar-putar di udara. Lalu jatuh berguling-guling ditanah. Seluruh pasukan mengamati apa yang muncul. Setelah agak lama menggelinding kesana-kemari, koin itu terhenti. Dan yang muncul adalah KEPALA. Kontan seluruh pasukan berteriak kesenangan. ‘Hore!, kita akan menang, nasib berpihak pada kita! ayo, serbu dan hancurkan musuh. Kemenangan sudahlah pasti.’ Dengan penuh semangat sang jenderal dan pasukannya bergerak menuju medan perang. Pertempuran berlangsung sangat sengit. Dengan bekal keyakinan dan tekad baja akhirnya musuh yang tak terhingga banyaknya dapat dikalahkan. Jenderal dan seluruh pasukannya betul-betul senang. Seorang prajurit berkata,’Sudah kehendak langit, maka tak ada yang bisa mengubah nasib.’ Sesampainya di ibu kota mereka disambut meriah oleh seluruh penduduk. Raja pun terkagum-kagum mendengar kisah peperangan yang dahsyat itu. Beliau bertanya pada sang jenderal, bagaimana ia mampu mengobarkan semangat pasukannya hingga begitu gagah berani. Sang jenderal kemudian menyerahkan koin emasnya pada Raja sambil berkata, ‘Paduka, inilah yang memberikan mereka nasib baik’. Raja menerima dan mengamati koin emas itu yang ternyata kedua sisinya bergambar KEPALA.

Tahukah kita apa yang akan terjadi jika sang jendral pada saat itu hanya diam tanpa melakukan sesuatu yang dapat merubah keadaan? Mungkin dengan menjawab dalam hati masing-masing, kita dapat mengambil hikmah dari cerita tersebut.

Epilog

Diam ataupun tidak sebenarnya memiliki sisi positif dan negatif masing-masing. Namun tidakkah kita sadar akan semua yang mengurusi pemerintahan di negeri ini juga manusia?. Abu Bakar saja sebagai khalifah pertama meminta untuk ditegur jika ia salah, konon halnya dengan kita. Jika Imam Malik ibn Anas mengatakan ‘tidak tahu’ pada beberapa soal yang dihadapkan kepadanya, bukan berarti ia diam, tapi ia berkata dan sebelumnya ia juga pasti telah berusaha untuk menemukan jawabannya. Lantas alasan apa lagi yang akan kita gunakan untuk tetap diam?

Kalau hanya dengan dalih agar pemerintahan bisa berjalan lantas kita harus diam, apakah kita berani menjamin bahwa pemerintahan yang berjalan nantinya akan baik? Tidakkah pada masa Soeharto dulu rakyatnya juga diam?, lantas apa yang terjadi?. Pada saat orang teriak-teriak saja pemerintahan masih buruk, apa lagi saat adem-ayem. Di tengah-tengah gejolak seperti ini, tak berhatikah kita hingga bak bayi kita tega untuk tetap berdiam diri? Kasihan para pejuang yang dengan ‘tidak diamnya’ mereka berhasil memperjuangkan agar negeri ini merdeka. Kasihan para pemuda yang susah payah meneriakkan reformasi pada tahun 1998. Kasihan para jurnalis yang telah memperoleh ‘kemerdekaannya’ harus kembali untuk diam. ‘Diam’ untuk medukung pemerintah, tanya kenapa? Wallau a’lam bisshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar