MENGKAJI KETENTUAN PRESENSI MINIMAL 75%
Oleh: Agus Fadilla Sandi
(Ketua Komisi I DPM FH UII)
Pada 16 Desember 2011, Rektor Universitas Islam
Indonesia (UII) menetapkan sebuah Peraturan Rektor (PR) dengan Nomor
33/Rek/PR/20/DA/XII/2011 tentang Kehadiran Mahasiswa dalam Perkuliahan pada
Program Studi Strata-1 UII. PR tersebut ditetapkan atas dasar pertimbangan
bahwa kehadiran mahasiswa adalah komponen yang sangat penting dalam peningkatan
kualitas pembelajaran. Mempertimbangkan hal demikian, maka perlu adanya suatu
PR untuk mengatur ketentuan tentang kehadiran mahasiswa guna peningkatan
kualitas pembelajaran.
Hingga kini, hadirnya PR tentang kehadiran
mahasiswa masih menuai berbagai kontroversial. Sebagian kalangan menganggap
bahwa keberadaan PR tersebut sangat positif guna peningkatan kualitas
pembelajaran dan akreditasi kampus. Namun sebagian kalangan lain beranggapan
bahwa PR tersebut merupakan sebuah pragmatisme pihak kampus yang hanya menekan
mahasiswa sebagai objek dalam proses pembelajaran. Benarkah PR tersebut
bersifat positif? atau justru menjadi “kerangkeng” (kurungan) bagi mahasiswa?
setiap kita berhak berbicara tentang hal ini.
Mahasiswa
wajib hadir minimal 75%, “pantas dosen enjoy aja”
PR tentang kehadiran mahasiswa memuat 3 (tiga)
ketentuan pasal. Pasal 1 (satu) tentang kehadiran minimal. Pasal 2 (dua)
tentang konsekuensi tidak terpenuhinya kehadiran minimal dan Pasal 3 (tiga)
tentang waktu berlakunya PR tersebut.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 PR tentang
kehadiran mahasiswa dijelaskan bahwa, “mahasiswa wajib untuk hadir dalam
perkuliahan setidak-tidaknya 75 (tujuh puluh lima) persen dari kehadiran dosen
pada mata kuliah yang bersangkutan.” Substansi ketentuan Pasal 1 tersebut
menyisakan berbagai pertanyaan. Mengapa harus 75%? dan mengapa kehadiran
minimal 75% didasarkan pada kehadiran dosen? “Untung dosen, rugi mahasiswa
dong!”
Mengapa harus 75%? Menurut berbagai pandangan
dari pihak pro terhadap ketentuan ini menyatakan bahwa 75% adalah standar umum
untuk kehadiran mahasiswa dalam perkuliahan. Bahkan beberapa Perguruan Tinggi
Negeri (PTN), telah menerapkan standar kehadiran
minimal 80%. Namun uniknya, salah satu Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di
Yogyakarta, tidak memiliki aturan kehadiran minimal bagi
mahasiswa, tapi justru tingkat kehadiran mahasiswanya dalam perkuliahan cukup
baik. Lantas UII mau berkiblat ke mana?
Terlepas dari standar minimal 80%, 75% atau
bahkan tidak sama sekali, kita dapat mengetahui bahwa sebenarnya ketentuan
tentang kehadiran minimal bukanlah aturan yang wajib dan berlaku secara
nasional. Hal ini terbukti dengan beragamnya standar pada setiap universitas
dan bahkan ada yang tidak menerapkannya sama sekali. Dipilihnya standar 75% di
UII tentu atas dasar pertimbangan yang matang secara konsep, tapi apakah telah
matang juga secara praktik?
Mengapa kehadiran minimal 75% didasarkan pada
kehadiran dosen? Banyak kalangan yang berpendapat bahwa dosen memiliki
kesibukan yang padat. Di samping mengajar, mereka juga memiliki kewajiban untuk
penelitian, pengabdian dan dakwah islamiyah. Menyadari hal tersebut, maka perlu
adanya toleransi terhadap para dosen. Kendati demikian, apakah pihak kampus
juga tidak menyadari bahwa mahasiswa memiliki kewajiban lain selain kuliah di
kampus? jika dosen dapat ditoleransi, mengapa mahasiswa tidak? Ketidakjelasan
sistem perizinan di kampus adalah bukti nyata atas ketidak ramahan dan
ketiadaan toleransi pihak kampus kepada mahasiswa yang aktif berorganisasi dan
berprestasi. Padahal akreditasi juga didukung oleh kegiatan kemahasiswaan,
tidak sekedar kehadiran di perkuliahan.
Tidak
hadir minimal 75% tidak boleh ujian, “sudah jatuh ditimpa tangga”
Pasal 2 (dua) PR tentang kehadiran mahasiswa
menerangkan bahwa, “mahasiswa yang hadir kurang dari 75 (tujuh puluh lima)
persen sebagaimana dimaksud pada pasal 1 tidak berhak mengikuti Ujian Akhir
Semester dan Ujian Remediasi pada mata kuliah tersebut.” Apa alasan
mendasar mengapa mahasiswa yang hadir di bawah standar minimal tidak boleh
ujian? Menurut salah satu pejabat Rektorat UII bahwa pada dasarnya mahasiswa
yang layak uji adalah mahasiswa yang telah mengikuti perkuliahan dengan standar
minimal. Sehingga logikanya, mahasiswa yang tidak cukup kehadirannya berarti
tidak cukup untuk diuji melalui UAS ataupun Remediasi. Benarkah demikian? Tentu
ini masih dapat diperdebatkan. Secara sederhana kita memahami bahwa penilaian
atas kelayakan dan atau kemampuan seorang mahasiswa dapat diperoleh seusai
ujian. Lantas mengapa melalui PR ini model penilaian itu beralih ke pra ujian.
Bukankah kita tahu kemampuan seseorang itu sesudah ujian? Bukan sebelum ujian.
Jika dicermati bersama, dalam berbagai kontrak
belajar, kita mengetahui bahwa aspek kehadiran memiliki porsi penilaian yang
lebih kecil (sekitar rata-rata 10%) dibandingkan dengan aspek ujian (hingga
mencapai 40%). Lantas mengapa aspek yang memiliki porsi kecil dapat menjadi
prasyarat bagi aspek yang memiliki porsi lebih besar? Sebagian kalangan
berpendapat bahwa sebaiknya ketentuan kehadiran minimal tidak dijadikan sebagai
syarat untuk UAS dan Remediasi. UAS dan Remediasi adalah hak mahasiswa.
Bayangkan, ketika mahasiswa hadir di bawah minimal tentu ia akan kehilangan
porsi penilaian sekitar 10%, lantas bagaimana lagi jika ia tidak dapat ikut
ujian sebagai bentuk konsekuensi kehadiran di bawah minimal? Tentu ia akan
kehilangan kesempatan juga untuk memperoleh porsi yang lebih besar dari UAS dan
Remediasi tersebut. “Sudah jatuh ditimpa tangga”
PR
telah berlaku, “hadapi atau lari?”
Kita memang akan selalu berbeda pendapat. Jadi?
Kita tetap harus bersikap, sebab tidak akan ada suatu hal apapun yang dapat
menyenangkan setiap orang. “Kita lihat saja nanti”. Kini PR telah berlaku.
Pilihan hanya ada dua, hadapi atau lari. Kendati demikian, ditetapkannya PR ini
menunjukkan bahwa tidak jelasnya fungsi lembaga perwakilan mahasiswa. Ketika PR
telah ditetapkan, banyak mahasiswa yang protes, walau banyak juga yang “sami’na
wa atho’na”. Namun itu semua memperlihatkan tidak adanya daya tawar lembaga
perwakilan mahasiswa untuk terus “menggawangi” setiap aturan rektorat atau
dekanat yang bersinggungan dengan mahasiswa. Mengapa PR ini dapat lahir tanpa
ikut sertanya lembaga perwakilan mahasiswa? mungkin pihak rektorat “tak
menganggap ada” lembaga perwakilan mahasiswa atau memang lembaga perwakilan
mahasiswanya yang “impoten”.
Pada dasarnya ketentuan tentang kehadiran
mahasiswa memiliki semangat yang positif untuk kemajuan kualitas pendidikan.
Namun jangan sampai pada pelaksanaannya mengabaikan peran mahasiswa sebagai
subjek dalam proses pembelajaran. Beberapa catatan untuk perbaikan ranah sistem
perkuliahan adalah perlunya kejelasan sistem perizinan karena ini bersinggungan
erat dengan presensi dan perbaiki kualitas dosen dalam mengajar. Meminjam
perkataan Eko Prasetyo, “tidak penting membahas tentang presensi karena bisa
jadi mahasiswa malas kuliah karena dosennya tidak menarik.” Semoga UII tetap
menjadi rahmat bagi seluruh alam. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar