Kamis, 02 Desember 2010

QUO - VADIS - BAHASA - ARAB - SEBAGAI - BAHASA - INTERNASIONAL



QUO VADIS BAHASA ARAB SEBAGAI BAHASA INTERNASIONAL:

Sebuah Refleksi Tentang Eksistensi Bahasa Arab di Indonesia



Agus Fadilla Sandi



Iftitah


Bahasa adalah alat untuk mengungkapkan kata hati, pikiran dan perasaan yang dinyatakan dengan mulut dan/atau dengan salah satu anggota badan atau simbol-simbol untuk maksud tertentu. Dengan kata lain, bahasa adalah alat untuk berkomunikasi baik lisan maupun tulisan. Bahasa merupakan salah satu aspek yang penting dalam proses interaksi manusia. Bahasa diterjemahkan sebagai refleksi rasa, pikiran dan tingkah laku. Adakalanya seseorang yang pandai dan penuh dengan ide-ide cemerlang harus terhenti hanya karena dia tidak bisa menyampaikan idenya dalam bahasa yang baik dan benar.


Sebagai bahasa agama (Islam), bahasa Arab telah lama memainkan peranan penting dalam pembentukan karakter bangsa Indonesia yang religius. Berdasarkan realita tersebut, maka peranan bahasa Arab dalam proses pengembangan sikap religius peserta didik sangatlah besar. Mengingat peran bahasa Arab yang amat sangat penting serta peran strategis yang dimainkannya saat ini, maka dipandang perlu adanya sebuah tulisan yang concern terhadap permasalahan tersebut. Penempatan bahasa Arab yang hanya oleh sebagian orang dipandang sebagai bahasa agama dianggap tidak lagi relefan karena penggunaan bahasa Arab sudah seharusnya digunakan di setiap sendi-sendi kehidupan.


Sederetan pernyataan reflektif di atas menarik untuk dikemukakan, karena selama ini bahasa Arab tampaknya baru sekedar sebagai alat (wasîlah) –untuk memahami teks-teks keislaman yang berbahasa Arab- dan belum difungsikan sebagai sebuah disiplin ilmu yang perlu dikembangkan. Berangkat dari renungan inilah, maka melalui tulisan nan sederhana ini penulis mencoba memberikan pemikiran ulang dan/atau sebuah refleksi (rethinking and reflecting) mengenai potret sistem pengajaran bahasa Arab di Indonesia berikut prospeknya ke depan.


Potret Sistem Pengajaran Bahasa Arab di Indonesia


Hingga kini belum ditemukan adanya hasil penelitian yang memastikan sejak kapan studi bahasa Arab di Indonesia mulai dirintis dan dikembangkan. Asumsi yang selama ini berkembang adalah bahwa bahasa Arab sudah mulai dikenal oleh bangsa Indonesia sejak Islam dikenal dan dianut oleh mayoritas bangsa kita. Jika Islam secara meluas telah dianut oleh bangsa kita sejak abad ke-13, maka usia bahasa Arab di Indonesia dipastikan sudah lebih dari 7 abad, karena perjumpaan umat Islam Indonesia dengan bahasa Arab itu paralel dengan perjumpaannya dengan Islam. Dengan demikian, bahasa Arab di Indonesia jauh lebih “tua” dibandingkan dengan bahasa asing lainnya.


Belajar bahasa ibu (Baca: Indonesia) pada masa kanak-kanak merupakan suatu proses yang tak mungkin dihindari, sedangkan mempelajari bahasa asing (Baca: Arab) di sekolah merupakan suatu tuntutan untuk memperoleh kepandaian khusus. Orang yang mempelajari bahasa asing itu sebelumnya telah memiliki pengalaman berbahasa ibu. Dengan kata lain, belajar bahasa asing itu tidak sama dengan berbahasa ibu, sehingga prinsip-prinsip, metode, pendekatan dan prosedurnya pun berbeda-beda. Walaupun demikian, Ahmad Fuad Effendi dalam bukunya yang berjudul Metodologi Pengajaran Bahasa Arab, menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki kesiapan fitrah (alamiah) untuk belajar bahasa.


Selama ini sistem pengajaran bahasa Arab di Indonesia dilakukan dengan berbagai metode dan cara yang disesuaikan dengan kesiapan dan kebutuhan masing-masing. Namun dalam perkembangannya selalu ada problematika yang menghiasi. Beberapa diantara dari berbagai problematika tersebut antara lain ialah:

1. Faktor Linguistik

Faktor Linguistik ialah faktor dari bahasa itu sendiri. Bahasa Arab mempunyai karakteristik tersendiri. Antara bahasa Arab dan bahasa Indonesia terdapat perbedaan dalam beberapa aspek kebahasaan (linguistik) yaitu aspek fonetik.

Problematika yang ditemukan dalam pembelajaran bahasa Arab di Indonesia dari aspek fonetik adalah bahwa antara bahasa Arab dengan bahasa Indonesia berbeda jumlah fonem, lambang fonem, dan sistem tata bunyi. Sebagai perbandingan, bahwa jumlah fonem bahasa Arab dengan bahasa Indonesia adalah 29:26. Lambang fonem tidak ada yang sama, dan cara penulisannya juga sangat berbeda. Bahasa Arab ditulis dari kanan ke kiri, sedangkan bahasa Indonesia ditulis dari kiri ke kanan. Terdapat 11 sistem tata bunyi bahasa Arab yang tidak ada dalam bahasa Indonesia yaitu: غ ،ع ،ظ ،ط ،ض ،ص ،ش ،ذ ،خ ،ح ،ث dan ditemukan adanya dalam bahasa Indonesia fonem-fonem gabungan konsonan seperti; ”ny” dan “ng” yang tidak terdapat dalam bahasa Arab.

2. Faktor Non-Linguistik

Faktor non-linguistik adalah faktor di luar kebahasaan yang ikut mempengaruhi perkembangan setiap bahasa, yaitu; faktor lingkungan sosial. Di berbagai negara Arab mayoritas penduduknya berbicara dengan bahasa Arab, karena memang itulah bahasa mereka. Sangat berbeda dengan Indonesia, pada umumnya masyarakatnya tidak berbicara dengan bahasa Arab, karena bukan bahasa harian mereka. Hanya sedikit lingkungan yang mengkondisikan dirinya dengan pemakaian bahasa Arab, seperti pesantren, madrasah, atau lembaga-lembaga lain yang mencoba menerapkan bahasa Arab untuk berkomunikasi.


Oleh sebab itu kebiasan mendengar dan berbicara dengan bahasa Arab sangat jauh dari kehidupan masyarakat Indonesia, sementara mendengar dan berbicara merupakan langkah awal dalam mempelajari setiap bahasa, apalagi bahasa asing. Berhasil tidaknya suatu pengajaran bahasa –termasuk bahasa Arab- sedikit banyaknya tergantung kepada sejauh mana pembinaan yang diberikan oleh lingkungan masyarakat, keluarga, teman belajar, guru, dan lain sebagainya.


Prospek Bahasa Arab di Indonesia


Setiap tantangan pasti memberikan peluang dan prospek jika disertai dengan usaha dan do’a yang sungguh-sungguh serta berpikir positif (al-tafkîr al-îjâbî) dan bersikap penuh kesungguhan dan kearifan. Begitu jua halnya dengan tantangan yang kini dihadapi oleh eksistensi bahasa Arab di Indonesia. Menurut penulis, ada beberapa prospek bahasa Arab di masa depan yang dapat diraih, jika para penggiat dan peminat bahasa Arab secara bersama-sama mau dan mampu menekuninya dan mengubah tantangan menjadi peluang.


Dari sekelumit gambaran problematika sistem pengajaran bahasa Arab di atas, maka penulis mencoba untuk menawarkan dua buah solusi dan/atau kiat yang harapannya dapat mengubur dalam-dalam problematika tersebut. Kedua solusi itu ialah. Pertama, penggiatan dan pembudayaan tradisi penelitian dan pengembangan metodologi pembelajaran bahasa Arab. Hal ini perlu dilakukan agar ilmu bahasa Arab dan metodologi pembelajarannya semakin berkembang dinamis dan maju. Melalui penggiatan penelitian, tentu saja karya akademik dapat dihasilkan dan pada gilirannya komunitas pendidikan bahasa Arab menjadi lebih tercerahkan dan dapat menyonsong masa depan yang lebih baik lagi.


Adapun yang kedua ialah pengembangan media dan teknologi pembelajaran bahasa Arab. Selama ini, kita masih lemah atau belum mumpuni dalam menciptakan produk media dan teknologi, sehingga proses pembelajaran bahasa Arab di lembaga kita masih belum mendapat sentuhan “modernitas” yang bercirikan: mudah, cepat, tepat, dan efektif. Karena itu, tenaga yang menekuni bidang ini perlu dihasilkan atau dimiliki oleh Pendidikan Bahasa Arab Indonesia. Dengan kata lain, kita perlu bermitra dan bersinergi dengan SDM yang memiliki kompetensi untuk mengembangkan teknologi pendidikan dan pembelajaran bahasa Arab yang modern. Dengan begitu, tampilan atau performansi pembelajaran bahasa Arab akan memiliki nilai tambah (added value) dan daya tarik tersendiri. Sehingga pada akhirnya, seluruh masyarakat Indonesia diharapkan mulai dapat membuka tangan dengan hangat untuk menyambut dan/atau menerima bahkan mendukung keberadaan bahasa Arab di bumi pertiwi yang kita cintai ini.



Ikhtitam


Dari uraian reflektif dan elaboratif di atas, dapat disimpulkan bahwa banyak persoalan dan tantangan pendidikan bahasa Arab yang perlu dihadapi, disikapi, dan dicarikan solusinya baik dalam faktor linguistik maupun faktor non-linguistik. Saat ini sudah seharusnya kita semua harus berpikir, bersikap, dan berdedikasi lebih optimal untuk kemajuan pendidikan bahasa Arab di Indonesia.


Akhirnya, penulis berharap semoga pemerintah lebih banyak lagi belajar dari pengalaman negara yang sudah lebih maju dalam menerbitkan kebijakan yang berkaitan dengan pendidikan bahasa Arab. Jika setiap tahun kita memberangkatkan lebih dari 210 ribu jamaah haji ke Arab Saudi dan sekian banyak TKI ke negara-negara Timur Tengah, mengapa kita tidak banyak berusaha menarik minat wisatawan dan investor dari kawasan Timur Tengah? Jadi, pendidikan bahasa Arab akan semakin memberi prospek yang cerah dan mencerahkan jika kebijakan pemerintah dalam bidang ini lebih visioner.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar