Kamis, 23 Juni 2011

PENDIDIKAN - GILA - STANDAR - PRESENSI - 75%

PENDIDIKAN “GILA” STANDAR:
Refleksi Terhadap Ketentuan Standar Presensi Minimal 75 %




Oleh: Agus Fadilla Sandi


"Sebenarnya, kita ini ingin maju atau dilihat maju?"(Obrolan Para Dewan FH UII)

Pertanyaan sederhana di atas lahir dari hasil obrolan para dewan yang tengah mendiskusikan masalah standar sistem pendidikan yang ada di Kampus –yang katanya- Perjuangan. Mulai dari “key-in” hingga presensi minimal 75% semua ditela’ah dari prespektif mahasiswa sebagai aktor yang menjalaninya. Apakah sebenarnya semua kebijakan kampus yang ada selama ini telah sesuai dengan aspirasi mahasiswa?

Hingga kini tercatat ada banyak kebijakan kampus yang tidak pro pada aspirasi mahasiswa. Satu dari sekian banyak hal tersebut ialah masalah presensi minimal 75%. Ada apa sebenarnya dengan presensi minimal 75%? Mari kita diskusikan bersama.


Tahukah anda bahwa saat ini telah banyak konsekuensi akademik ketika presensi minimal 75% tidak terpenuhi? Mulai dari ujian yang diberi “gelar bintang” hingga tidak dapat mengikuti “remediasi” (sistem ke depannya) dan masih banyak yang lainnya. Sebegitu hebatnya kah presensi minimal 75%?


Kalau boleh terbuka (dan seharusnya demikian), apa sebenarnya filosofi dari presensi minimal 75%? Ada berbagai jawaban yang muncul dari pertanyaan tersebut. Menurut salah satu tokoh UII saat ini, bahwa presensi minimal 75% adalah sebuah kewajiban karena sistem pendidikan kita yang bermetode “pemusatan belajar pada keaktifan mahasiswa” (student active learning center) mengharuskan peran aktif mahasiswa, sehingga mahasiswa diwajibkan hadir di kelas. Dengan metode ini, maka kehadiran mahasiswa dengan presensi minimal 75% sudah menjadi hal yang wajar.


Secara konseptual, menurut pendapat tokoh tersebut, presensi minimal 75% sungguh sangat ideal, tapi benarkah pada realitanya demikian? Mahasiswa yang selama ini menjalani proses tersebut ternyata berpendapat bahwa itu berkebalikan dan hanya lah kebohongan yang besar. Lihatlah di ruang-ruang kelas kuliah! Ada berapa banyak mahasiswa yang hanya menjadi penonton dari ‘atraksi’ dosen. Mahasiswa hanya terdiam duduk manis dengan hiasan catatan di tangannya. Apakah ini yang disebut dengan “pemusatan belajar pada keaktifan mahasiswa”? kenapa lebih banyak dosennya yang aktif dari pada mahasiswa? Apakah ini salah mahasiswa yang tidak siap aktif atau salah dosen yang tidak mampu memotivasi mahasiswa untuk aktif?


Adanya standar pendidikan dengan presensi minimal 75% seolah-olah menjadikan mahasiswa lah yang menjadi sebab itu semua. Padahal tidak kah kita melihat bahwa peran aktif dosen juga diperlukan dalam memotivasi mahasiswa agar dapat tampil aktif? Masih kah kita harus menutup mata pada dosen-dosen yang tingkat kehadirannya pun cukup memprihatinkan dibanding mahasiswanya. Berapa dosen yang dengan tidak merasa berdosa menyuruh mahasiswanya untuk ‘tanda tangan’ tanpa ada kelas perkuliahan? Dan sayangnya, mahasiswa pun ikut menikmati kebobrokan itu semua. Jika sudah seperti ini, apa lagi gunanya presensi minimal 75%? Ketentuan presensi minimal 75% hanya menjadi standar pendidikan yang justru menjadikan mahasiswa sebagai insan yang tak terdidik. Dengan ketentuan presensi minimal 75%, mereka belajar tentang arti “TA” (titip absen), mereka belajar tentang arti “PENJILAT” (dekat dengan dosen biar presensi dimudahkan) dan yang paling ekstrim adalah ‘bekerja sama’ dengan pihak yang berkuasa pada permasalahan presensi.


Masih kah kita bangga pada ketentuan standar pendidikan dengan presensi minimal 75% jika hanya sekedar ingin terlihat maju? Padahal dalamnya kita sangat bobrok dan sangat tidak ingin maju. Masih banggakah kita sebagai lulusan FH UII yang kaya manipulasi?


Sebenarnya permasalahan ini memang sangat dilematis, di satu sisi kita ingin menjadi kampus penting, sehingga harus mengikuti standar pendidikan yang ada, tapi di sisi lain kita lupa tentang ruh semangat didirikannya UII. Ingatlah bahwa “memang baik menjadi orang penting, tapi lebih penting lagi menjadi orang baik”


Terhadap permasalahan yang dilematis ini, penulis hanya dapat berpendapat bahwa sudah saatnya FH UII harus berani tampil beda dengan penuh kebenaran, walaupun itu pahit. Kita dapat menghapuskan ketentuan standar pendidikan dengan presensi minimal 75%. Boleh dikurangi tapi jangan ditambah. Kita adalah civitas akademika FH UII, bukan FMIPA dan atau FK yang memang dididik untuk siap di laboratorium kelas. Kita punya laboratorium sendiri, yaitu kehidupan sosial. Jika mahasiswa FH sudah jauh dari kehidupan sosial, lantas dari mana mereka akan belajar tentang keadilan dan tentang kenyataan hukum di masyarakat. Apakah mereka harus dipaksa untuk meng-amin-i bahwa hukum itu baik dan semua orang bersamaan kedudukannya di depan hukum? Padahal ketika kena tilang oleh polisi pun bayarannya berbeda.


Kenapa kita harus takut tidak mengikuti standar yang ada? Takut tidak mendapatkan akreditasi yang baik? Atau apa? Dulu kita (UII,red) berani menolak menjadi institusi negeri, lantas kenapa sekarang kita latah dengan standar-standar yang ada? Apa yang ingin kita perjuangkan? Kuantitas atau kualitas? Tidak ingatkah kita berapa jumlah mahasiswa STI (UII tempoe doeloe) pada awalnya? Tapi dengan penuh semangat dan ketulusan mereka dapat membesarkan UII hingga kini dan melahirkan tokoh-tokoh yang hebat pula. Tegakah kita mengotori kesucian semangat mereka? Kampus bukanlah tempat komersialisasi pendidikan, jangan terlalu ‘gila’ dengan standar kalau pada akhirnya hanya akan melahirkan alumni yang serba ‘cacat’.


Penulis menyadari bahwa tulisan ini mengandung banyak kekurangan, sehingga dengan penuh kerendahan hati penulis mohon ma’af atas segala kekurangan yang ada. Moga niat baik penulis tersampaikan dan dapat dijadikan pertimbangan untuk melakukan perbaikan. "I LOVE FH UII"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar