Kamis, 23 Juni 2011

DPM - : - DEWAN - PERMASALAHAN - MAHASISWA - ?


DPM: DEWAN PERMASALAHAN MAHASISWA?
(KADO UNTUK PARA PIMPINAN DPM YANG BARU)


Oleh: Agus Fadilla Sandi


Fariduddin Attar bangunlah pada malam hari
Dan dia memikirkan tentan dunia ini

Ternyata dunia ini
Adalah sebuah peti
Sebuah peti yang besar dan tertutup di atasnya
Dan kita manusia berputar-putar di dalamnya
Dunia sebuah peti yang besar
Dan tertutup di atasnya
Dan kita terkurung di dalamnya
Dan kita berjalan-jalan di dalamnya
Dan kita beranak di dalamnya
Dan kita membuat peti di dalamnya
Dan kita membuat peti
Di dalam peti ini ….

Demikianlah gambaran manusia dilukiskan dalam sebuah sajak Taufik Ismail. Terkadang tanpa disadari banyak manusia yang terlena dengan apa yang dimilikinya tanpa mengingat hakikat dirinya. Manusia itu juga termasuk kita, mahasiswa. Rendahnya tingkat kepekaan sosial telah menjadikan mahasiswa “buta” dan “tuli”. Mahasiswa itu pun kita, para dewan mahasiwa, benarkah?

Dewan, mungkin ini adalah kata yang singkat tapi cukup membuat banyak orang terpikat. Kenapa tidak? Dengan kata yang satu ini, setiap orang dapat diubahnya menjadi sosok yang sombong dan angkuh, seolah merasa bahwa dirinya yang paling hebat dan berkuasa. Walau tak jarang, kata ini juga mampu menyulap seseorang menjadi ‘malaikat’, tapi mungkin ini satu dari seribu. Mendapatkan dewan dengan tipe ‘malaikat’, mungkin seperti mendapatkan emas dalam ladang lumpur yang kotor.

Menjadi dewan tidak selamanya didasarkan oleh kehendak pragmatis, tapi terkadang juga didasarkan pada perjuangan. Walau –sekali lagi- menemukan para dewan yang sungguh-sungguh ingin berjuang seperti itu sangat sulit, tapi sulit bukan berarti tidak bisa.

Dewan dengan segala pernak-perniknya menjadikannya sebagai sebuah posisi yang sangat istimewa. Istimewa kedudukannya dan istimewa pula tanggung jawabnya. Namun sayangnya saat ini banyak para dewan yang hanya ingin menikmati keistimewaan kedudukannya tersebut tanpa diimbangi dengan keistimewaan tanggung jawabnya. Kalau sudah seperti ini, lantas apa sebenarnya hakikat para dewan? Dalam konteks kemahasiswaan, apa sebenarnya hakikat dari dewan perwakilan mahasiswa (DPM), yang katanya adalah tempat para dewan yang mewakili para mahasiswa? Berdasarkan beberapa pemikiran ini lah maka penting bagi kita untuk menela’ah kembali idealita beserta realita eksistensi DPM dalam konteks UII.

DEWAN UII DAN DEWAN SENAYAN, APA BEDANYA?

Tak mau kalah dengan apa yang dicontohkan oleh para dewan di Senayan, dewan mahasiswa UII pun ikut-ikutan dengan apa yang mereka lakukan. Mulai dari gaya yang sok hingga birokrasi yang memusingkan, semua telah menjadi pakaian para dewan mahasiswa UII. Anda tidak sepakat? (silahkan baca dengan tenang hingga selesai).

Jika kita ingin jujur, sesungguhnya dewan adalah posisi yang sangat tidak menyenangkan, tapi anehnya di UII, kenapa para dewannya malah merasa sangat menyenangkan. Apakah karena di dewan ada ‘kebun uang’? atau ‘taman kekuasaan’? dan atau ada ‘sesuatu’ yang ingin didapatkan para dewan? Apa sesuatu itu? (silahkan jawab sendiri, bagi dirimu, wahai para dewan!).

Jabatan dewan menjadi jabatan yang akan sangat tidak menyenangkan, karena pada dasarnya menjadi dewan sama berarti menjadi ‘pelayan’, pelayan mahasiswa. Seharusnya dewan mahasiswa selalu sibuk dengan urusan kemaslahatan mahasiswa. Seharusnya dewan mahasiswa akan selalu bertemu dengan mahasiswa yang diwakilinya. Dan seharusnya dewan mahasiswa akan selalu (dan tidak jarang) berada di kantor dewannya agar mudah menerima aspirasi mahasiswa. Tapi ternyata, itu semua hanya mimpi. (Project Pop Style).

Para dewan mahasiswa UII tak jarang sibuk dengan kemaslahatan pribadinya. Datang ke kampus hanya untuk urusan pribadinya dan tanpa merasa berdosa mereka tetap gagah mengakui bahwa dirinya adalah para dewan mahasiswa. Bertemu dengan mahasiswa pun hanya sebatas untuk urusan pribadinya, kekuasaannya, atau lainnya. Bahkan tak jarang banyak mahasiswa yang ketika ditanya siapa dewannya ia menjawab tidak tahu. Salah siapa? Salah mahasiswa yang tidak tahu kah? Atau para dewan yang tidak mau tahu? Atau sebenarnya karena para dewan terlalu sibuk dengan urusan pribadinya sehingga lupa bahwa dirinya adalah ‘pelayan mahasiswa’? atau memang mahasiswanya yang merasa malu memiliki para dewan seperti yang telah disebutkan di atas tadi, sehingga mereka memilih menjawab tidak tahu? Semua pertanyaan ini diangkat dari realita yang ada di sekitar kita, wahai para pembaca.

Awal menjadi dewan, semua kata-kata manis diucapkan dari mulut-mulut manis mereka. Bak sosok malaikat yang siap setia bersama mahasiswa untuk memperjuangkan hak-hak mahasiswa. Sayangnya itu semua berakhir pada detik terakhir waktu orasi masa kampanye mereka, para dewan. Berlanjut dalam sidang, tampilan orang angkuh sedunia pun seolah dipertontonkan kepada para peserta sidang lainnya. Tak jauh berbeda dengan para dewan yang ada di Senayan, kata per kata, kalimat per kalimat, semua seolah menjadi permasalahan ketertiban dunia atau keamanan negara. Padahal seusai sidang, kertas-kertas yang dibahas waktu sidang tersebut hanya sebatas menjadi tumpukan sampah tak berguna atau dengan bahasa yang lebih sopan adalah arsip belaka. Mungkin arsip itu hanya akan dibuka kembali pada waktu sidang dewan selanjutnya.

Mengaku bahwa dewan mahasiswa adalah pelopor perubahan bangsa mungkin adalah suatu kebohongan yang besar, tapi mungkin ada sedikit dari banyak yang rusak tersebut berniat baik. Moga Allah memperteguhkan niat dan perjuangannya.

PERWAKILAN: Mereka Mewakili Siapa?

Ketika ditanya kenapa ia ingin menjadi dewan, mungkin banyak dari para dewan yang akan menjawab bahwa ia ingin mewakili mahasiswa. Tapi apakah benar demikian? Pertanyaan ini sangat mudah dijawab, baik bagi para mahasiswa maupun bagi para dewan itu sendiri. Jawabannya cukup dengan melihat bagaimana sepak terjangnya selama menjadi dewan mahasiswa, mudah bukan? Ya, mungkin itu bagi yang telah menjadi dewan, sehingga kita dapat mengetahui karakternya dari bagaimana selama ini tindak-tanduknya selama menjadi dewan, tapi bagaimana untuk mengetahui kesungguhan para calon dewan? Untuk pertanyaan ini mungkin dapat dijawab langsung oleh PANWIL atau KPU PEMILWA UII 2011.

Mewakili mahasiswa adalah tujuan yang sangat mulia, dimana ia merelakan mengorbankan sebagian waktu, tenaga dan pikiran hanya untuk kemaslahatan mahasiswa lainnya. Bukan kah ini manusia setengah ‘malaikat’? tapi itulah adilnya Allah, dimana ada ‘malaikat’ di situ pun ada ‘iblis’. Tak sedikit atau hampir sebagian besar para dewan pun tampil juga sebagai manusia setengah atau bahkan drastis sepenuhnya ‘iblis’. Jabatan yang berkuasa hanya menjadi buruan semata, padahal sudah sangat jelas bahwa Rasulullah pernah bersabda yang intinya, jangan sekali-kali memberikan kekuasaan bagi mereka yang meminta-mintanya (mengemis).

Sangat bangga para dewan mengatakan dengan lantangnya bahwa kami berjuang untuk mahasiswa, padahal komputer yang ada di kantornya pun dipakai main FB-an untuk kepentingannya. Fasilitas dewan dipergunakan tidak untuk kepentingan mahasiswa. Bahkan yang sangat menyedihkan lagi ketika kantornya sendiri pun sunyi senyap tak ada penghuni.

Tok.tok..tok…assalamu’alaikum, ucap seorang mahasiswa yang ingin menyampaikan aspirasinya, tapi sayangnya hanya hembus angin lah yang menjawab salamnya itu. Seandainya kala itu ada jin (iklan 76), mungkin ia akan mengatakan, ku kabulkan satu permintaanmu. Lantas mahasiswa itu mungkin saja berkata, ingin ketemu dewan mahasiswa untuk mengaspirasikan suaraku selaku mahasiswa. Baiklah, ucap jin. Silahkan temui mereka di kos. Mereka lagi tidur, semalaman main FB di kantor dan jalan-jalan dengan uang milik mahasiswa. Ini hanyalah guyon belaka, tapi ini dapat menjadi kejadian nyata. Tak percaya? Jelas, karena anda selaku dewan tidak tahu, kenapa tidak tahu? Karena anda tidak pernah ke kantor, kenapa? Karena anda sibuk dengan urusan pribadi. Astaghfirullah.

MAHASISWA BERJIWA POLITIKUS

“Tidak ada politikus yang bersih,
Seandainya ada politikus yang bersih sesungguhnya ia bukanlah politikus,
melainkan negarawan”

Lantang suara mereka, para dewan, setiap momentum berdemo atau beraksi. Mulai dari jalan Malioboro hingga nol kilo meter, mereka teriakkan, hidup mahasiswa!!! Padahal jiwa mereka tidak lagi mahasiswa. Mereka memberontak para koruptor, padahal mereka sendiri sering korupsi. Menuntut keadilan dan perhatian pemerintah, padahal mereka sendiri selaku dewan mahasiswa tak pernah adil, apa lagi perhatian pada kemaslahatan mahasiswa. Kalau demikian nyatanya, maka memang benar bahwa kehidupan ini adalah panggung sandiwara. ‘Iblis’ menuntut iblis, padahal sesama ‘iblis’ tidak boleh saling mendahului. Hahaha, tawa sebagian orang, mungkin. Anda marah? Atau sangat tidak sepakat dengan apa yang saya utarakan? Itu semua adalah hal yang wajar. Penulis sangat berterimakasih kepada anda selaku pembaca, jika anda marah, karena dengan marahnya anda berarti tulisan saya ini telah sudi untuk anda baca. Penulis sangat bangga ketika tulisan sederhana ini dapat dibaca oleh anda yang istimewa.

Tidak selamanya politikus itu kotor, tapi terkadang fakta bercerita kepada kita bahwa memang tidak ada politikus itu yang bersih. Sehingga menjadi sangat wajar jika dikatakan bahwa jika ada orang baik dalam lingkaran politik, sesungguhnya ia bukan politikus, melainkan negarawan. Begitupun halnya dengan kondisi perpolitikan di kampus kita tercinta ini.

Segala hal yang ada di dalam tulisan ini tentunya tidak semuanya mengandung kebenaran. Sehingga dengan penuh kerendahan hati penulis mohon ma’af atas segala hal yang kurang berkenan di hati. Moga Allah meridhoi UII. Amin…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar