Jumat, 28 Februari 2014

JAKARTA TAK BERDAYA, PINDAH IBU KOTA?



JAKARTA TAK BERDAYA, PINDAH IBU KOTA?




DKI Jakarta sebagai ibu kota negara Republik Indonesia tak berdaya menghadapi banjir. Puluhan ribu rumah, berbagai fasilitas publik, balai kota, bahkan istana negara, seluruhnya terendam. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun menetapkan “Jakarta Siaga 1”.
Sudah seminggu Jakarta terendam banjir. Kerugian finansial yang ditimbulkan sudah mencapai miliaran rupiah. Menurut Saman Simanjorang, Ketua Kadin DKI Jakarta, kerugian ekonomi yang dialami Jakarta berkisar hingga Rp. 1.5 miliar perjam. Sedangkan menurut Satria Hamid Ahmadi, Wakil Sekjen Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, kerugian bisnis ritel yang dialami telah mencapai Rp. 460 miliar.
Di samping kerugian finansial, hingga 17 Januari 2013, tercatat korban banjir sebanyak 94.624 orang. Adapun korban jiwa sebanyak 5 orang. Sedangkan korban pengungsi sebanyak 15.447 orang.  Dampak lain yang juga dialami berupa Jakarta tanggap darurat 17-27 Januari, Istana Negara terendam 30 cm, PLN memutuskan 241 gardu untuk keselamatan, transportasi umum terganggu, sejumlah kawasan perdagangan terendam banjir (Benhil, kawasan Otista) dan aktivitas 375 industri di kawasan Pulo Gadung terhenti. (Kompas, 17/1/2013).
Berbagai pihak menaruh prihatin atas lumpuhnya aktivitas Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan bisnis akibat banjir yang terjadi dalam seminggu terakhir ini. Hingga kini banjir yang melanda sudah merendam 20 persen Jakarta. Tentunya hal ini menambah panjang daftar masalah sosial Jakarta sebagai ibu kota negara. Selain banjir, ada juga kemacetan lalu lintas dan kerawanan sosial lainnya yang patut mendapatkan perhatian semua pihak untuk segera diatasi. Menanggapi fakta Jakarta yang kian hari kian tak berdaya, muncul opsi untuk memindahkan ibu kota negara.
Terhadap opsi tersebut, sebagian kalangan sependapat dan sebagian yang lain turut mempertimbangkan. Taufik Kiemas, Ketua MPR, berpendapat Jakarta harus mempertimbangkan sungguh-sungguh opsi pemindahan ibu kota negara ke daerah lain untuk mengurangi masalah Jakarta. Sebaliknya Jusuf Kalla, Mantan Wapres, menyatakan solusinya bukan pindah ibu kota, tapi perbaiki infrastruktur di Jakarta.
Terlepas pro-kontra pemindahan ibu kota negara, ternyata sejak dulu Soekarno pernah memimpikan ibu kota negara pindah ke Palangkaraya. Pada tahun 1950-an, Soekarno sudah meramalkan Jakarta akan tumbuh tak terkendali. Sehingga wajar Soekarno bermimpi memindahkan ibu kota negara ke Palangkaraya dengan alasan, Pertama, Kalimantan adalah pulau terbesar dan letaknya di tengah-tengah gugus pulau Indonesia; dan Kedua, menghilangkan sentralistik Jawa. (Merdeka, 2013). Selain Palangkaraya, Yogya juga diopsikan sebagai ibu kota negara. Menanggapi opsi tersebut, Sri Sultan menyatakan, “silakan kalau dibutuhkan.” Mengingat pada tahun 1946 Yogya pernah diamanahkan sebagai ibu kota negara. (Kedaulatan Rakyat, 20/1/2013).
Menilik perkembangan di dunia, perpindahan ibu kota negara adalah hal yang lumrah. Seperti Jepang yang dulu beribu kota Kyoto kini berpindah ke Tokyo. Amerika Serikat, dulu beribu kota New York dan sekarang di Washington DC, sedangkan New York dijadikan kota bisnis. Australia beribu kota Melbourne dan kota bisnisnya Sidney. Praktik di negara-negara maju tersebut memperlihatkan betapa idealnya jika suatu negara memiliki satu ibu kota negara dan kota bisnis secara terpisah. Apapun hasilnya ke depan, semoga para pemimpin Indonesia dapat menanggulangi Jakarta yang kini tak berdaya dan memproyeksikan ibu kota negara yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar