JAKARTA TAK
BERDAYA, PINDAH IBU KOTA?
DKI Jakarta sebagai ibu kota negara Republik
Indonesia tak berdaya menghadapi banjir. Puluhan ribu rumah, berbagai fasilitas
publik, balai kota, bahkan istana negara, seluruhnya terendam. Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pun menetapkan “Jakarta Siaga 1”.
Sudah seminggu Jakarta terendam banjir. Kerugian
finansial yang ditimbulkan sudah mencapai miliaran rupiah. Menurut Saman
Simanjorang, Ketua Kadin DKI Jakarta, kerugian ekonomi yang dialami Jakarta
berkisar hingga Rp. 1.5 miliar perjam. Sedangkan menurut Satria Hamid Ahmadi,
Wakil Sekjen Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, kerugian bisnis ritel yang
dialami telah mencapai Rp. 460 miliar.
Di samping kerugian finansial, hingga 17
Januari 2013, tercatat korban banjir sebanyak 94.624 orang. Adapun korban jiwa
sebanyak 5 orang. Sedangkan korban pengungsi sebanyak 15.447 orang. Dampak lain yang juga dialami berupa Jakarta
tanggap darurat 17-27 Januari, Istana Negara terendam 30 cm, PLN memutuskan 241
gardu untuk keselamatan, transportasi umum terganggu, sejumlah kawasan
perdagangan terendam banjir (Benhil, kawasan Otista) dan aktivitas 375 industri
di kawasan Pulo Gadung terhenti. (Kompas, 17/1/2013).
Berbagai
pihak menaruh prihatin atas lumpuhnya aktivitas Jakarta sebagai pusat
pemerintahan dan bisnis akibat banjir yang terjadi dalam seminggu terakhir ini.
Hingga kini banjir yang melanda sudah merendam 20 persen Jakarta. Tentunya hal
ini menambah panjang daftar masalah sosial Jakarta sebagai ibu kota negara.
Selain banjir, ada juga kemacetan lalu lintas dan kerawanan sosial lainnya yang
patut mendapatkan perhatian semua pihak untuk segera diatasi. Menanggapi fakta
Jakarta yang kian hari kian tak berdaya, muncul opsi untuk memindahkan ibu kota
negara.
Terhadap opsi tersebut, sebagian
kalangan sependapat dan sebagian yang lain turut mempertimbangkan. Taufik
Kiemas, Ketua MPR, berpendapat Jakarta harus mempertimbangkan
sungguh-sungguh opsi pemindahan ibu kota negara ke daerah lain untuk mengurangi
masalah Jakarta. Sebaliknya Jusuf Kalla, Mantan Wapres, menyatakan solusinya
bukan pindah ibu kota, tapi perbaiki infrastruktur di Jakarta.
Terlepas
pro-kontra pemindahan ibu kota negara, ternyata sejak dulu Soekarno pernah
memimpikan ibu kota negara pindah ke Palangkaraya. Pada tahun 1950-an, Soekarno
sudah meramalkan Jakarta akan tumbuh tak terkendali. Sehingga wajar Soekarno
bermimpi memindahkan ibu kota negara ke Palangkaraya dengan alasan, Pertama, Kalimantan adalah pulau
terbesar dan letaknya di tengah-tengah gugus pulau Indonesia; dan Kedua, menghilangkan sentralistik Jawa.
(Merdeka, 2013).
Selain Palangkaraya, Yogya juga diopsikan sebagai ibu kota negara. Menanggapi
opsi tersebut, Sri Sultan menyatakan, “silakan kalau dibutuhkan.” Mengingat
pada tahun 1946 Yogya pernah diamanahkan
sebagai ibu kota negara. (Kedaulatan Rakyat, 20/1/2013).
Menilik perkembangan di dunia,
perpindahan ibu kota negara adalah hal yang lumrah. Seperti Jepang yang dulu
beribu kota Kyoto kini berpindah ke Tokyo. Amerika Serikat, dulu beribu kota
New York dan sekarang di Washington DC, sedangkan New York dijadikan kota
bisnis. Australia beribu kota Melbourne dan kota bisnisnya Sidney. Praktik di
negara-negara maju tersebut memperlihatkan betapa idealnya jika suatu negara
memiliki satu ibu kota negara dan kota bisnis secara terpisah. Apapun hasilnya
ke depan, semoga para pemimpin Indonesia dapat menanggulangi Jakarta yang kini tak
berdaya dan memproyeksikan ibu kota negara yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar